Perumusan Kebijakan Peningkatan Ketahanan Pangan dari Sektor Kehutanan (Hutan Rakyat)

 I. Latar Belakang

Hutan rakyat merupakan kawasan lahan milik masyarakat yang di dalamnya terdapat tegakan tanaman keras, baik berupa pohon berkayu maupun berbuah. Hutan rakyat tidak hanya berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan sumber dekonomi, tetapi juga memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Namun, hingga saat ini, pemanfaatan dan pendataan hutan rakyat masih menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal definisi dan klasifikasinya terhadap lahan pertanian.

Jika hutan rakyat hanya didefinisikan sebagai lahan yang berisi tanaman berkayu, maka data ketahanan pangan akan rancu dengan lahan pertanian kering. Padahal, sebagian lahan hutan rakyat sejatinya memiliki potensi untuk mendukung produksi pangan, baik melalui pemanfaatan sebagian areal untuk tanaman semusim maupun dengan sistem integrasi seperti agroforestry.

 II. Permasalahan

Permasalahan utama yang muncul adalah kerancuan dalam pendataan antara lahan hutan rakyat dan lahan pertanian kering, yang berpotensi menimbulkan kesalahan dalam perencanaan kebijakan ketahanan pangan. Selain itu, faktor sosial ekonomi masyarakat pemilik lahan juga turut memengaruhi sejauh mana mereka mau atau tidak mau menjadikan hutan rakyatnya sebagai lahan pendukung ketahanan pangan.

Dari hasil pengamatan lapangan, terdapat dua tipe masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat:

1.     Masyarakat dengan lahan terbatas, cenderung mau memanfaatkan sebagian hutan rakyatnya untuk tanaman semusim (padi gogo, jagung, kedelai). Namun, seringkali karena keterbatasan akses jalan dan sarana transportasi menyebabkan mereka sulit mengelola lahan tersebut secara produktif.


 

Kondisi hutan rakyat di Pacitan yang memiliki topografi berbukit 

 

2.     Masyarakat dengan lahan luas atau lebih dari satu bidang lahan, umumnya tidak ingin mengubah fungsi hutan rakyatnya menjadi lahan pertanian, meskipun lokasi lahannya dekat jalan dan mudah diakses. Mereka memilih mempertahankan fungsi kehutanan untuk tujuan jangka panjang seperti produksi kayu atau menjaga lingkungan.


 

Lanskep hutan rakyat di Kabupaten Pacitan yang rata-rata berbukit

mempersulit dalam peningkatan program ketahanan pangan

 

III. Analisis dan Pembahasan

Dari sisi kebijakan, hutan rakyat di Indonesia saat ini lebih banyak didefinisikan berdasarkan status kepemilikan lahan (hutan hak) dibandingkan dengan kondisi vegetatif atau jumlah tanaman berkayunya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Permen LHK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Hutan Tanaman Rakyat, penetapan hutan rakyat belum mensyaratkan jumlah minimal pohon berkayu per hektar.

Ketiadaan kriteria vegetatif ini menyebabkan perbedaan besar antara kondisi di lapangan dan data administrasi. Banyak lahan yang disebut sebagai hutan rakyat padahal vegetasinya sudah jarang atau berubah fungsi menjadi pertanian, dan sebaliknya, banyak pula lahan berhutan padat milik masyarakat yang tidak terdata sebagai hutan rakyat.

Untuk itu, perlu ditetapkan standar vegetatif minimum agar pendataan lebih objektif, misalnya:
- Jumlah pohon berkayu minimal 100 batang per hektar untuk tegakan dewasa.
- Tutupan tajuk minimal 30%.
- Proporsi tanaman kehutanan terhadap tanaman non-kehutanan minimal 50% pada sistem campuran.

Selain aspek vegetatif, perbedaan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahannya juga menjadi faktor penting. Masyarakat dengan lahan sempit perlu difasilitasi dengan program pembukaan akses jalan usaha tani, bantuan benih tanaman semusim, dan pendampingan teknis agroforestry. Sementara itu, masyarakat dengan lahan luas perlu diberdayakan dalam bentuk pola kemitraan hutan rakyat produktif atau hutan pangan terpadu, yang tidak mengubah fungsi ekologis namun tetap meningkatkan produksi pangan dan hasil hutan bukan kayu.

 

IV. Alternatif Solusi dan Kebijakan yang Disarankan

  1. Penyusunan definisi operasional hutan rakyat berbasis vegetatif, agar data kehutanan dan ketahanan pangan tidak saling tumpang tindih.
  2. Menetapkan atau meregistrasi lahan milik warga menjadi kawasan hutan rakyat dengan tujuan menjadikan batas yang jelas antara kawasan hutan dan kawasan khusus pertanian.
  3. Integrasi data spasial antar kementerian (Kehutanan, Kementan, BPS) untuk memetakan potensi lahan hutan rakyat yang dapat berkontribusi terhadap ketahanan pangan.
  4. Peningkatan aksesibilitas lahan melalui pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan produksi dan sarana transportasi hasil hutan dan pertanian.
  5. Penerapan pola agroforestry berbasis komunitas dengan kombinasi tanaman kehutanan, tanaman semusim, dan tanaman bernilai ekonomi tinggi.
  6. Pemberian insentif bagi pemilik hutan rakyat produktif, seperti subsidi benih, kemudahan akses pasar, dan dukungan program perhutanan sosial.

 

V. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hutan rakyat memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap ketahanan pangan, baik secara langsung melalui produksi hasil pangan, maupun secara tidak langsung melalui penguatan fungsi ekologis dan ekonomi masyarakat. Namun, tantangan utama yang perlu diselesaikan adalah kerancuan definisi dan pendataan, serta perbedaan motivasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemilik lahan.

Oleh karena itu, kebijakan peningkatan ketahanan pangan dari sektor kehutanan perlu diarahkan pada dua aspek utama:

  1. Penetapan standar vegetatif dan klasifikasi lahan hutan rakyat yang jelas untuk memperkuat basis data nasional.
  2. Pengembangan sistem agroforestry adaptif berbasis karakteristik masyarakat dan wilayah agar pemanfaatan hutan rakyat dapat dilakukan tanpa menurunkan fungsi ekologisnya.

Dengan demikian, integrasi kebijakan antara sektor kehutanan dan pangan akan semakin efektif, dan hutan rakyat dapat menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan di Indonesia.

0 Response to "Perumusan Kebijakan Peningkatan Ketahanan Pangan dari Sektor Kehutanan (Hutan Rakyat)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel